Pagi itu cuaca sepertinya agak bersahabat. Di Kota Medan, Sumatera Utara, yang terkenal dengan udara panasnya, mentari pagi justru terasa hangat. Tidak menyengat seperti biasanya. DominoQQ
Di luar cuaca, Medan juga memiliki ciri khas sendiri. Sebagai kota besar yang sangat sibuk dari pagi hingga pagi berikutnya, justru menyimpan daya tarik yang sanggup membuat orang untuk berdatangan. Tidak sekadar urusan bisnis, tetapi juga untuk urusan pelesir, memang, Medan lah tempatnya. Banyak spot wisata menarik di kota ini dan sekitarnya. Wisata alam, budaya, hingga kuliner bisa kita nikmati di sini.
Penasaran atas daya tarik kota itu membuat saya dan beberapa teman bergegas dari kenyamanan tempat tidur hotel. Kami segera meluncur membelai jalanan aspal mencari keelokan di setiap sudut kota. Pagi itu, salah satu yang menarik perhatian kami adalah Istana Maimun, salah satu ikon Kota Medan yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun. Agar lebih merasakan sentuhan Medan, sengaja kami menyewa betor (becak motor). Karena tidak begitu jauh dari hotel tempat kami menginap, hanya dalam beberapa menit kami pun sampai di istana yang berdiri megah meskipun telah berusia ratusan tahun tersebut.
Halaman Istana Maimun cukup luas, berupa lapangan rumput yang kadang dijadikan anak-anak tempat bermain bola. Pada hari-hari libur istana itu cukup ramai pengunjung yang tertarik dengan keindahannya sekaligus mencerna sejarahnya. Seperti pagi itu kami pun tidak sendirian. Puluhan pengunjung lain juga berdatangan. Kami harus melewati beberapa anak tangga untuk bisa sampai di ruang utama istana. Asyiknya, kunjungan kami disambut para pemusik yang melantunkan irama khas Melayu. Mereka bermain tepat di sisi pintu utama. Tentu lantunan musik itu selalu terdengar selama kunjungan.
Suasana hening dan sangat berbeda begitu terasa saat kami memasuki ruang utama Istana Maimun. Kami disambut seorang pemandu yang menjelaskan seluk-beluk istana sekaligus membawa kami berkeliling istana yang keseluruhan interiornya didominasi warna kuning, warna khas Melayu.
Jika diperhatikan, arsitektur Istana Maimun yang memadukan beberapa unsur budaya Melayu bergaya Islam, Spanyol, India, serta Italia ini memang cukup unik dan benar-benar menghasilkan karakter yang khas. Pengaruh Eropa tampak dari lampu gantung yang menghiasi setiap ruangan, meja, kursi, lemari, jendela, hingga pintu-pintunya. Ada pula prasasti dari batu marmer yang ditulis dalam bahasa Belanda. Pengaruh Islam terlihat dari bentuk lengkung (arcade) pada bagian atap yang menyerupai bentuk perahu terbalik (lengkung persia) yang lazim dijumpai pada bangunan-bangunan di kawasan Timur Tengah.
Menelusuri kemegahan ruang demi ruang Istana Maimun disertai alunan musik khas Melayu memang serasa membawa kami ke masa kejayaan Kesultanan Deli tempo dulu. Jika di masa itu Kesultanan Deli bisa membangun sebuah istana yang mewah tidak hanya pada bangunannya namun juga pada segala pernak-pernik di dalamnya, sangat mungkin karena sejak dua abad silam wilayah ini berlimpah hasil perkebunan, minyak, dan rempah-rempah, termasuk hasil tembakaunya yang begitu terkenal hingga mancanegara. Hasil bumi yang luar biasa itu tentu memberikan pemasukan sangat besar untuk Kesultanan Deli.
Saat hendak meninggalkan kompleks istana, perhatian kami tertuju pada sebuah bangunan kecil berbentuk rumah dengan atap bergaya adat Karo di sisi istana tersebut. Rasa penasaran membawa kami memasuki bangunan kecil itu. Di dalamnya kami pun mendapati sebuah meriam yang dikeramatkan dan dikenal dengan sebutan Meriam Puntung.
Hikayat puak Melayu Deli menjabarkan, meriam tersebut merupakan penjelmaan Mambang Khayali, adik Putri Hijau dari Kerajaan Deli Tua. Mambang berubah menjadi meriam saat mempertahankan istana dari serbuan Raja Aceh yang pinangannya ditolak Putri Hijau. Akibat larasnya yang panas karena dipakai menembak terus-menerus, meriam itu pecah menjadi dua bagian. Ujung meriam diceritakan melayang dan jatuh di Kampung Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Tanah Karo. Sedangkan pecahan satunya lagi disimpan di ruang kecil tempat kami berdiri.
Menarik! Kata itulah yang serempak keluar dari mulut kami saat sepakat meninggalkan kompleks Istana Maimun. Hari itu kami benar-benar mendapatkan sesuatu yang berbeda. Tak ingin kehabisan waktu, kami pun melanjutkan petualangan menelusuri sudut-sudut Kota Medan, tentu saja, tetap dengan becak motor. Biar Medan banget gitu… **
0 Komentar